Hukum Pidana dan Pengacara : Sebagai Upaya Terakhir

Adakalanya client datang kepada kami, utk meminta jasa pendampingan. Bukan sebagai terlapor. Melainkan ingin melaporkan pihak lain sebagai terlapor. Melapor pidana tentunya.

Pada dasarnya, melapor adalah hak hukum setiap orang yang merasa dirugikan secara pidana oleh pihak lain. Sehingga betul kami tidak berhak menghalangi.

Namun, sudah menjadi keyakinan kami, bahwa hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai ultimum remidium. Artinya sebagai jalan terakhir bila upaya lain tidak memberikan solusi lagi.

Hal tersebut kami lakukan, baik ketika client kami datang sebagai terlapor, ataupun sebagai pelapor. Hal tersebut adalah sebagai usaha menghindari penggunaan bazoka utk membunuh nyamuk. Artinya, tidak menggunakan usaha terlalu besar utk menyelesaikan masalah yang kecil.

Adakalanya masalah tampak besar ketika kita melihatnya dalam suasana hati yg emosional. Sehingga keputusan yg kita ambil tidak lagi rasional. Akibatnya, penggunaan hukum pidana menjadi usaha yg berlebihan untuk menyelesaikan masalah kecil. Kerusakan yg ditimbulkan terlalu besar dibandingkan masalahnya itu sendiri.

Hukum pidana, adalah hukum yg keras, sekalipun kita semua telah berusaha membuatnya lunak dengan berbagai upaya. Namun pidana, sebagai penjatuhan nestapa terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana, bagaimanapun adalah ibarat mengiris daging sendiri.

Karena yg kita jatuhi pidana tersebut juga adalah merupakan anggota masyarakat kita itu sendiri. Bahkan di banyak kasus, seringkali adalah orang2 terdekat mereka sendiri (suami, istri, keluarga sendiri, teman sendiri, dst).

Maka dari itu, dalam menggunakan hukum pidana terhadap client kami, kami selalu berusaha meredam emosi mereka terlebih dahulu. Agar tdk timbul penyesalan di waktu yang akan datang.

Hukum pidana, tidak selalu efektif terhadap semua masalah. Artinya, tidak semua masalah akan selesai dgn baik dengan jalan menggunakan hukum pidana.

Hukum pidana memiliki keterbatasan. Dia hanya fokus pada bgmn menjatuhkan sanksi pada pembuat pidana. Sangat sedikit concern nya terhadap korban misalnya. Atau pada efektivitas penjatuhan sanksi tersebut terhadap masalah yg dihadapi.

Maka ketika client datang dan mengharapkan kami utk menggunakan pendekatan hukum pidana, maka kami coba lakukan analisis terlebih dahulu, apakah benar masalah yg dia hadapi membutuhkan solusi hukum pidana?

Pertanyaan utamanya selalu adalah, apakah sebenarnya isu yg dihadapi oleh client kami tersebut?

Bahkan ada banyak waktu kami mempertanyakan, apakah perlu menggunakan pendekatan hukum? Jangan-jangan pendekatan diluar hukum bisa jauh lebih efektif? Pendekatan kekeluargaan misalnya? Musyawarah? Mediasi?

Jikapun masuk ke jalur hukum, maka tidak serta merta melompat ke pendekatan hukum pidana. Bisa jadi kami akan mencoba menganalisis apakah pendekatan hukum perdata bisa lebih efektif misalnya?

Client kami sarankan untuk berhati-hati jika ada penasihat hukum, atau pengacara yang bernafsu untuk membawa setiap masalahnya masuk ke jalur hukum, terutama membawa ke jalur hukum pidana.

Mengapa? Menempuh jalur hukum pidana perlu persiapan ekstra, memerlukan persiapan pembuktian yang cermat. Agar tidak menjadi bumerang si client.

Penasihat hukum atau advokat yang bernafsu membawa ke jalur hukum, kami khawatirkan tidak terlalu berorientasi pada kepentingan atau keselamatan client.

Adakalanya masukan kami tidak memenuhi harapan atau emosi client, namun kami tetap berpendapat, bahwa kami memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan client agar tidak terjerumus di belantara hukum.