Secara umum, membuat laporan seharusnya mudah untuk dilakukan. Tinggal datang ke kantor polisi, jika kasusnya sederhana, dan jelas cukup ke Polsek sesuai dengan locus nya, dan ceritakan peristiwa yang terjadi / menimpa dirinya (korban). Jika agak luas, besar, misalnya perisitiwanya meliputi beberapa daerah polsek, bisa lapor ke Polres. Jika meliputi beberapa kota kabupaten atau bahkan propinsi, bisa lapor ke Polda. Nanti petugas akan mencatat, dan memberikan bukti lapor (bukti lapor ini penting, untuk nanti meminta SP2HP).
Namun pada prakteknya, membuat laporan, tidaklah sesederhana itu. Petugas akan sangat berhati-hati menerima laporan. Mengapa? ada banyak sebab. Pertama, bisa terjadi laporan itu mengada-ada, dibuat-buat, palsu, dst. Sehingga adalah wajar jika petugas bersifat hati-hati dan selektif. Mengapa seorang pelapor membuat laporan palsu? ada banyak sebab yg bisa menjadi alasannya. Bisa terjadi karena ketidakpahaman, bahwa apa yg dilaporkan sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, namun perbuatan perdata misalnya. Kadang masalah utang piutang dilaporkan ke polisi karena si kreditor merasa “ditipu” oleh debitornya. Pelapor kadang tidak memahami bahwa apa yg disebut penipuan di dalam hukum pidana, tidak sama dengan penipuan secara awam. Sering misalnya dikira tidak menepati janji sebagai perbuatan menipu oleh awam. Sedangkan penipuan dalam hukum pidana memiliki pengertian yang ketat. Memiliki unsur-unsur yang bersifat terbatas, limitatif, baik tujuan, cara-caranya, dst.
Sehingga tentu saja polisi akan menolak laporan yang salah alamat seperti itu. Atau kadang pelapor sekedar ingin menggertak atau menakut2i pihak yg dilaporkan agar menuruti permintaan dari si pelapor. Contoh: seorang ce hamil akibat berhubungan dengan seorang co, dan si co tidak mau bertanggung jawab. Menolak menikahi. Lalu melaporkan ke polisi. Tentu saja polisi juga akan menolak laporan seperti ini, terutama jika ternyata dalam hubungan itu tidak terdapat pemaksaan, kekerasan, masing-masing sudah dewasa, sama-sama tidak terikat perkawinan, berhubungan dalam kondisi sadar dan sama-sama suka. Karena tdk ada pasal pidana yang bisa digunakan untuk menjeratnya sehingga satu2nya jalan bagi polisi adalah menolak laporan tsb.
Sehingga jalan terbaik bagi pelapor dalam membuat laporan adalah, memahami benar bahwa apa yg dilaporkan adalah memang benar-benar merupakan peristiwa atau perbuatan pidana. Itu hal pertama yang harus dipahami. Hal kedua berikutnya adalah masalah pembuktian. Sebelum membuat laporan, pastikan bukti-bukti yang ada telah mencukupi. Nah, ini sebenarnya merupakan tugas penyidik. Namun, jika ingin laporan mudah diterima, mau tidak mau lebih baik dipersiapkan sebelum membuat laporan. Atau setidaknya mempermudah tugas penyidik utk mempercepat proses penanganan perkara. Disini masalahnya adalah, awam tidak selalu paham apa saja yang bisa menjadi alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. Dan awam seringkali kesulitan membedakan barang bukti dengan alat bukti. Akhirnya hal-hal tersebut seringkali membuat laporan sulit untuk diterima. Disinilah perlunya pendampingan oleh pengacara, agar memberikan pemahaman dan meyakinkan petugas yang menerima laporan bw